BAB 1
2
tahun terakhir ini Jessy hidup sebatang kara, ibunya meninggal karena sakit
yang dideritanya yaitu tumor otak. Jessy mencoba untuk bertahan hidup, mencari
pekerjaan kesana kemari, di usir dari rumah yang sudah 3 tahun ditempati
bersama ibunya karena tidak dapat membayar uang sewa. Sampai akhirnya Jessy
menyerah dengan keadaan ini. Ia membuka selembar kertas yang diberikan oleh
ibunya sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir.
“Kediaman bibi Eliz. St. Alford 20B, Graivel”
Hanya itu tulisan yang ada di selembar kertas
itu. Dengan uang yang seadanya, Jessy memberanikan diri untuk pergi ke alamat
yang sudah diberikan oleh ibunya. Jessy sama sekali tidak mengenal siapa itu
bibi Eliz, apakah ia saudara ibunya? Atau tempat tinggal sahabat ibunya? Atau
justru pemilik panti asuhan yang siap menampung Jessy? Berbagai pertanyaan
timbul dibenaknya. Jessy mencoba untuk berfikir positif, siapapun itu bibi Eliz
pastilah dia orang yang baik. Mana mungkin ibunya tega menyerahkan anak semata
wayangnya ini kepada orang yang jahat. Jessy tahu ini pasti pilihan terbaik
yang sudah dipilih ibunya sebelum ia meninggal. Pemandangan yang sangat indah
dan mengagumkan selama perjalanan membuat hati Jessy menjadi tenang, sebelumnya
ia tidak pernah melihat hamparan padang rumput yang sejuk nan indah, serta
hamparan ladang yang dipenuhi dengan orang-orang yang sibuk menggarap lading
milik mereka. Jessy baru tersadar bahwa perjalanan ini membawanya ke suatu
tempat yang berbeda dari tempat tinggal sebelumnya. Sebuah perkampungan. Itu
yang ada dipikiran Jessy. Entahlah perkampungan atau perkotaan yang jelas
tempat ini bisa menerima Jessy dengan baik dan dapat merubah sedikit hidupnya.
Jessy termenung menatap foto mendiang
ibunya, ia tidak menyangka bahwa selama ini ibunya merahasikan penyakit yang
dideritanya dari Jessy. Ibunya adalah seorang dokter disalah satu rumah sakit
besar dan ternama di kota, jadi ia pasti sangat memperhatikan kondisi
kesehatannya. Namun ternyata itu semua salah, menjadi seorang dokter bukan
berarti bisa bebas dari penyakit yang sangat menyakitkan hingga merenggut
nyawanya. Tanpa terasa air mata Jessy mengalir di kedua matanya. Jessy merasa
sangat tak berguna, ia merasa sangat bodoh karena selama ini tidak mengetahui
bahwa ibunya sangat menderita akibat dari penyakit yang diderita. Ia merasa
belum bisa menjadi anak yang baik untuk ibunya, padahal selama ini ibunya sangat sabar dalam mengurus Jessy.
Jessy melihat keluar cendela, ia berharap ibunya sudah bahagia ditempat yang
baru.
******
Perjalanan
yang sangat melelahkan membuat kondisi Jessy sedikit kurang sehat, ia keluar
dari kereta yang ditumpanginya dengan lunglai. Tempat yang baru dan orang-orang
yang baru. Ia merasa sangat asing berada di kota ini. Ia berjalan dan tampak
kebingungan. Perutnya sangat lapar, terakhir ia makan kue yang dibelinya sesaat
sebelum kereta berangkat, setelahnya ia hanya menenggak air yang
dibawanya. Jessy berputar putar
menjelajahi stasiun itu. kemana aku harus
pergi? tanyanya dalam hati. Perasaan takut mulai menguasai tubuhnya,
sebelumnya ia belum pernah melakukan perjalanan sendirian. Jika pergi ke tempat
yang jauh ia pasti bersama ibunya. Tapi kali ini ia pergi ke temapt baru tanpa
siapapun yang menemani, ditambah dengan uang yang hanya tersisa sedikit sekali.
“ada
yang bisa saya bantu nona?”seorang lelaki tua menepuk pundak Jessy yang
membuatnya sangat kaget dan takut. Seulas senyum yang tercetak jelas diwajah
lelaki tua itu membuat hati Jessy lega. Semoga lelaki itu adalah orang yang baik dan
dapat membantu.
“hmm….
Bisakah tuan memberitahu saya kemana saya dapat pergi?” Jessy memberikan
secarik kertas yang berisikan alamat kepada lelaki itu dan mencoba bersikap
seramah mungkin denga orang baru.
“jelas
sekali saya tahu, saya kenal baik dengan nyonya Eliz. Dia adalah orang yang
sangat baik, dia sering sekali memborong hasil pertanian saya dengan harga yang
pas” penjelasan lelaki tua ini membuat hati Jessy sangat lega.
“bolehkah
tuan mengantar saya kealamat itu? Tapi maaf saya tidak punya banyak uang
untuk membalas jasa tuan” kata Jessy malu-malu
“tenang
saja, tidak usah khawatir. Saya akan mengantarkan nona ke rumah nyonya Eliz.
Kebetulan saya juga ingin mampir untuk
mengambil keranjang saya yang masih tertinggal disana. Mari saya antar.
Perkenalkan nama saya Demian” kata tuan Demian sambil mengulurkan tangannya pada
Jessy
“senang
berkenalan dengan anda tuan Demian, saya Jessy” balas Jessy sambil menjabat
tangan tuan Demian. Lega, senang, merasa beruntung semua campur aduk di hati
Jessy. Ia sangat beruntung bisa bertemu dengan orang baik seperti tuan Demian
yang rela mengantarkannya ke rumah bibi Eliz.
“apakah anda keponakan nyonya Eliz?”
“iya,
saya keponakan bibi Eliz yang datang dari kota” Jessy berharap ia memang
benar-benar keponakan bibi Eliz yang datang dari kota. Tuan Demian rupanya
sangat asyik ketika diajak mengobrol, selama perjalanan tuan Demian terus
menceritakan hal-hal yang menyenangkan di pedesaan ini. Tempat yang menurutnya
paling nyaman dan damai. Semua penduduk disini sangat ramah dan mereka sama
sekali tidak pernah bermasalah, jika memang ada masalah pastilah mereka akan
menyelesaikannya dengan jalan kekeluargaan. Mendengar cerita dari tuan Demian,
Jessy semakin yakin bahwa ia akan betah tinggal ditempat ini selama-lamanya. Semoga saja.
Kendaraan
yang tuan Demian dan Jessy tumpangi berhenti pada sebuah rumah kecil yang
terlihat indah dan nyaman. Tuan Demian mengetuk pintu rumah itu, dan beberapa
saat kemudian muncullah seorang wanita setengah baya yang masih terlihat cantik
dan sangat keibuan.
“permisi nyonya, maaf malam-malam begini saja berkunjung. Saya hanya ingin mampir
sebentar dan mengambil keranjang milik saya” sapa tuan Demian dengan sopan
“dan
ini saya juga mengantar keponakan anda” lanjut tuan Demian yang kemudian
menyuruh Jessy untuk menampakkan dirinya. Sedari tadi Jessy bersembunyi
dibalik pintu, perasaan khawatir mulai menghinggapinya. Ia menunggu respon dari
bibi Eliz, apakah ia mengenalinya atau tidak. Wajah bibi Eliz sedikit
menerka-nerka siapa gerangan gadis kota yang dibawa tuan Demian yang mengaku
sebagai keponakannya ini. Senyum mulai mengembang diwajah bibi Eliz, tanpa
berkata apa-apa bibi Eliz langsung memeluk Jessy. Jessy sangat lega. Itu
artinya bahwa bibi Eliz mengenalinya, meskipun ia sama sekali tidak tahu siapa
itu bibi Eliz. Mendengar namanya saja sama sekali tidak pernah, ia tahu nama
bibi Eliz hanya dari surat yang ditulis ibunya.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar