Rabu, 06 April 2016

Runaway


BAB 4
Sudah lama sekali ia tidak mendapatkan teman yang sebaya dengannya. Tanpa mereka sadari Mario sudah terbangun dan duduk diantara mereka, wajahnya terlihat sangat pucat.
            “kalian berisik sekali, aku tidak dapat tidur” kata Mario lemas
            “ohh…maaf kalau kamu terganggu” Jessy meminta maaf pada Mario. Saking asyiknya berbincang, ia tidak sadar kalau di dalam klinik ada orang yang sedang tidur. Namun Mario tidak merespon permintaan maaf Jessy, ia menyandarkan kepalanya di dinding. Ia masih terlihat sangat kesakitan.
            “Mario, sebaiknya kami membawa mu ke rumah sakit sekarang” kata Thomas sambil membantu Mario berdiri. Jessy, Deep dan juga Chad setuju pada Thomas. Kemudian Chad, Deep dan Thomas membawa Mario ke rumah sakit. Jessy  kembali ke dalam kamarnya, ditengah perjalanan ia bertemu dengan ayahnya.
            “ayah” panggil Jessy pada ayahnya. Namun ayahnya sangat terburu-buru, ayahnya hanya mengangkat tangganya kepada Jessy pertanda Jessy harus menuggu sebentar. Jessy mengangguk dan kembali ke kamarnya. Ia menyalakan music diponselnya, mendengarkannya sambil berbaring santai. Ketiak ia memejamkan matanya, ia melihat sosok Mario. Seketika itu juga ia langsung terlonjak kaget dan terduduk di samping ranjang. Ia mencoba mengatur pikiran dan perasaannya. Nampaknya kali ini ia benar-benar kacau. Suara ketukan pintu terdengar olehnya, segera Jessy membuka pintu itu.
            “apa kamu sudah makan?” ternyata yang mengetuk pintu tadi adalah ayah. Jessy bahkan tidak sadar bahwa ia belum makan padahal ini sudah hampir sore.
            “belum ayah” jawab Jessy tersenyum
            “ayo makanlah, ayah tidak mau melihat mu kelaparan” Jessy dan ayah menuju ruang makan. Ruang makan ditempat ini adalah  sebuah kantin. Banyak sekali meja dan kursi yang terjajar rapi. Disisi lainnya ada jajaran wadah yang berisi makanan. Ayah mengajak Jessy untuk segera mengambil makan. Ada beberapa orang yang sedang menikmati makanan, kelihatannya mereka adalah murid ayahnya. Jessy dan ayah menikmati makanan yang sudah mereka ambil. Jessy melahap semua makanannya dengan cepat terlihat bahwa ia sangat lapar. Dan makanan ini juga sangat lezat sekali, entah siapa yang memasaknya.
            “bagaimana keadaan anak bawang itu?” tanya ayah membuka pembicaraan mereka yang sedari tadi diam seribu bahasa
            “anak bawang? Maksud ayah siapa?”
            “anak bawang yang terkena tembak, Chad bilang kau yang membantu mengurusnya”
            “Mario?”
            “ya, anak bawang itu. Bagaimana keadaannya?”
            “aku sudah berhasil mengeluarkan pelurunya. Tadi Chad sudah membawanya ke rumah sakit untuk memastikan bahwa lukanya tidak akan terinfeksi” ayah Jessy hanya mengagguk dan kembali diam.
            “mengapa ayah menyebutnya anak bawang?” tanya Jessy membuka percakapan kembali
            “karena dia pasukan paling bodoh” ayah Jessy mengangkat piring dan pergi meninggalkannya sendiri. Jessy masih bertanya-tanya mengapa ayahnya menyebut Mario sebagai anak yang bodoh?
******
            “hai, bagaimana lukamu?” Jessy duduk di samping Mario yang tampak sedang menundukkan kepalanya. Mario terdengar menghela nafas dan kemudian mendongkakan kepalanya menatap kearah Jessy
            “cukup membaik” menepuk dadanya yang terkena tembak. Jessy tersenyum. Suasana kembali hening.
            “terimakasih sudah menolong ku. Maaf kalau waktu itu aku sempat tidak percaya kepada mu” Mario tersenyum malu. Senyum Mario itu membuat jantung Jessy meledak sejadi-jadinya. Suasana kembali hening yang terdengar hanyalah suara riuh dari murid lain yang sedang berlatih. Pasti saat ini kondisi Mario masih belum membaik, buktinya ia belum bisa mengikuti latihan.
            “Mario, komandan memanggil mu” Thomas berlari sambil berteriak sangat kencang, nafasnya terengah-engah. Jessy mengerutkan keningnya, ada apa ayah memanggil Mario?. Perasaannya mulai tidak enak, terlebih ketika Jessy mengingat kejadian sewaktu ia makan bersama ayahnya. Ayahnya menyebut bahwa Mario adalah murid yang paling bodoh, itu membuat Jessy sangat terkejut.
            “baiklah aku akan segera kesana” Mario bangkit dari duduknya dan berjalan ke ruangan ayah Jessy. Diam-diam Jessy mengikuti Mario. Saat Mario sudah berada di dalam bersama ayah Jessy, Jessy mengendap-endap dibalik pintu mendengarkan percakapan mereka.
            “kamu dikeluarkan” hanya itu yang terucap dari mulut ayah Jessy. Sontak Jessy terkejut dan berusaha untuk tidak mengeluarkan suara. Mario tertunduk lesu, ia tidak berani menatap wajah ayah Jessy. Jessy tidak tega melihat kondisi ini, ia membranikan diri untuk keluar dari persembunyiannya.
“ayah, bisa ayah jelaskan mengapa ayah mengeluarkan Mario?” Jessy masuk ke dalam ruangan. Ayahnya terlihat sangat marah, namun ia menahan amarahnya itu.
“apa yang kamu lakukan di sini?”
“aku hanya ingin bertanya tentang alasan” Jessy berdiri tepat disamping Mario yang masih tertunduk lesu
“ini bukan urusan mu Jessy, bisa tolong kamu tinggalkan kami berdua?” 
“ayah, kalau alasan ayah mengeluarkannya karena ia murid paling bodoh rasanya itu tidak tepat. Bukankah orang bodoh itu seharusnya di beri banyak pelajaran agar ia menjadi pintar seperti yang lain?” kata-kata Jessy ini sungguh membuat ayahnya semakin emosi. Matanya melotot, wajahnya mulai memerah menahan amarah yang sedari tadi ia tahan
“Jessy, ayah sudah bilang ini bukan urusan kamu” ayah Jessy berbicara dengan nada tinggi
“Jessy menunggu jawaban dari pertanyaan tadi” Jessy tetap berdiri. Ia memperhatikan Mario, menerka bagaimana perasaan Mario saat ini. Suasana di dalam ruangan semakin memanas, Jessy tetap bersikukuh tidak mau meninggalkan ayahnya berdua dengan Mario. Tidak lama kemudian  ayah Jessy justru pergi meninggalkan Jessy dan Mario di dalam ruangan. Jessy mengernyit, ada apa ini?
“seharusnya kamu tidak melakukan ini” Mario bangkit dan pergi menyusul ayah Jessy. Mengapa Mario berkata seperti itu? Seharusnya dia berterimakasih. Jessy tetap terdiam diruangan itu. Ia mencoba menstabilkan perasaannya. Ia berfikir apakah yang ia lakukan ini salah?. Seseorang menepuk pundaknya dari belakang
“mengapa masih disini?” ayah Jessy kembali ke ruangan, Jessy merasa kaku. Apa  yang harus ia lakukan. Pasti saat ini ayahnya akan memukulinya karena perbuatan bodohnya itu. Jessy tersenyum kecut dan melangkah pergi dari ruangan itu. Ayah mencegahnya melangkah lebih jauh. Tatapan mata ayahnya saat ini lebih sedikit tenang dibandingkan tadi. Nampaknya emosinya sudah reda.
“duduklah” ayah Jessy menuntunnya untuk duduk. Jessy menurut. Ayahnya melangkah maju dan duduk didepannya. Jessy menunggu apa yang akan dikatakan ayahnya. Namun tidak ada satupun kata yang terucap dari mulut ayahnya. Mereka hanya saling pandang, Jessy pun nampak kebingungan. Ayahnya menghela nafas panjang
“mengapa kamu membelanya?” ayahnya mulai berbicara. Namun pertanyaan itu justru membuatnya susah berkata-kata. Apa yang membuatnya membela Mario?. Ia bahkan belum mengenal Mario, mungkin Mario benar-benar murid paling bodoh sehingga ayahnya harus mengeluarkan Mario dari sekolah yang ia pimpin. Jessy menggaruk kepalanya, mencoba mencari-cari alasan.
“a..aku tidak membelanya ayah, hanya saja apakah tidak ada kesempatan untuk si bodoh memperbaikinya?” Jessy tersenyum yang dibalas dengan senyum dari ayahnya
“jelas ada Jessy, semua orang berhak mendapatkan kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik”
“lalu mengapa ayah tidak memberinya kesempatan?”
“ayah sudah memberinya kesempatan, hanya saja ia selalu menjadi murid paling bodoh dari dulu”
“mengapa ayah menyebutnya seperti itu?”
“dia sering terluka Jessy, luka tembak kemarin bukanlah luka pertama yang ia dapatkan. Ayah hanya tidak mau menyakiti anak orang. Mereka selalu bilang kalau latihan di sekolah ini sangat kejam dan bisa membunuh. Ayah khawatir kalau dia terus bertahan disini, dia bisa terbunuh. Dan siapa yang akan bertanggung jawab? Jelas ayah yang harus bertanggung jawab” Jessy terdiam menatap ayahnya. Ia tahu betul bagaimana perasaan ayahnya. Ia tidak menyangka ternyata selama ini ayahnya merasakan tekanan dari banyak pihak di luar sana

“ya, ayah betul. Tapi aku yakin si bodoh itu tidak sebodoh yang ayah pikir. Dia bisa melindungi dirinya sendiri” Jessy mencoba membalas penjelasan ayahnya.
(bersambung)

Selasa, 05 April 2016

Runaway


BAB 3
Matahari pagi masuk ke kamar tidur Jessy melalui celah cendela, Jessy membuka mata dan menatap langit-langit. Tubuhnya sudah mulai membaik dari kelelahan setelah perjalanan panjang. Bibi Eliz  membuka pintu kamar Jessy berdiri disamping almari dan tersenyum sangat lembut.
“selamat pagi sayang, sebentar lagi Chad akan sampai. Sebaiknya kamu bersiap-siap” Bibi Eliz menghampiri Jessy dan duduk di tepi ranjang
“iya bi, kalau begitu Jessy mau mandi dulu ya”
“setelah itu kamu sarapan dulu. Bibi khawatir kalau kamu sakit”
“iya bibi, tenang saja” kata Jessy sembari memeluk bibi Eliz. Jessy membayangkan bahwa yang ia peluk saat ini adalah ibunya. Kemudian Jessy bergegas mandi dan sarapan sebelum Chad, murid ayahnya datang. Jessy sudah selesai mandi dan sarapan, namun Chad belum juga datang. Ia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan ayahnya. Sembari menunggu Chad, Jessy membantu bibi Eliz merawat bunga-bunga yang ada di halaman bibi Eliz. Dari kejauhan terlihat kereta kuda yang mendekat ke rumah bibi Eliz.
“nah itu Chad” teriak bibi Eliz. Bibi Eliz meminta Jessy untuk segera menyiapkan barang-barang yang akan dibawanya. Chad menghentikan kereta kudanya tepat di depan rumah bibi Eliz. Chad mengangkat beberapa sayuran dan bahan makanan ke dalam kereta kudanya.
“Chad, perkenalkan ini Jessy anaknya Jhon” kata bibi Eliz memperkenalkan Jessy pada Chad. Jhon adalah nama ayah. Chad memberi hormat pada Jessy.
“halo Chad, senang bisa bertemu dengan mu” kata Jessy sopan memberi salam
“halo,  senang juga  bisa bertemu dengan mu”
“Chad, Jessy akan menumpang untuk pergi menemui ayahnya. Nanti setelah sampai kamu tolong antarkan Jessy kepada Jhon ya” kata bibi Eliz mengusap rambut Jessy. Chad menganggukan kepala dengan sopan. Chad dan Jessy memulai perjalanan mereka. Ini untuk pertama kalinya Jessy menaiki kereta kuda, ternyata rasanya sangat mengasyikan. Pemandangan indah menjadi teman perjalanan mereka berdua. Chad sangat ramah, ia banyak bercerita soal seluk-beluk pedesaan ini. Sekitar 10 menit mereka menempuh perjalanan, sebuah tempat yang tampak bukan seperti desa terpampang jelas di mata Jessy. Jessy terlihat sangat kebingungan karena sebelumnya bibi Eliz atau pun Chad tidak ada yang memberi tahu kepadanya tentang tempat tinggal ayahnya secara detail.
“Chad, apakah kita sudah sampai?” tanya Jessy kebingungan
“iya, ayo kita turun. Selanjutnya saya akan membawamu pada komandan”
“komandan? Maksud mu ayahku seorang komandan?”
“iya, apa kamu tidak tahu”
“tidak Chad, hmm tolong jelaskan tempat apa ini?”
“baiklah. Ini adalah sebua sekolah pelatihan, seperti pelatihan militer. Setelah kami sudah siap untuk terjun, kami akan siap membantu kepolisian dan siapa pun yang membutuhkan kami untuk memberantas kejahatan di kota ini dan kota-kota lainnya. Dan ayah mu adalah pendiri sekolah ini. Makanya kami semua menyebutkan komandan”
“hah?” penjelasan Chad membuat Jessy bingung dan semakin jelas kalau ia tidak mengenali ayahnya. Chad menuntun Jessy menemui ayahnya yang berada dikantor. Jessy berjalan dibelakang Chad. Beberapa murid yang sedang istirahat melihat Jessy dengan tatapan asing. Jantung Jessy semakin berdetak cepat. Apakah ayahnya akan senang melihatnya kemari? Atau justru sebaliknya?. Chad membawa Jessy memasuki sebuah gedung yang terlihat kurang terawat, Chad masuk ke dalam satu ruangan. Jessy masih menunggu di luar. Mendadak nafasnya menjadi sesak, kepalanya sedikit pusing ini berarti bahwa ia sangat gugup. Chad keluar dari ruangan itu dan menyuruh Jessy masuk. Entah apa  yang Chad katakan kepada komandannya itu.
“masuklah, komandan sudah menunggu” kata Chad sambil pergi meninggalkannya. Jessy masuk dengan perasaan yang was-was. Di ujung ruangan terlihat seseorang berdiri sedang memandang keluar cendela. Jessy bingung bagaimana harus memanggilnya. Ia merasa sangat canggung.
“hai” sapa Jessy. Lelaki itu menoleh dan berjalan menuju Jessy. Ya benar itu adalah ayahnya. Ayah yang dulu mencampakkan ibu dan dirinya sekian lama. Jessy berusaha mengusir amarah yang sedang berputar-putar di hatinya.
“kamu sudah besar sekarang dan kamu semakin mirip dengan ibumu” kata ayah. Ayah berjalan menghampiri Jessy sembari tersenyum. Ia mendekat dan memeluk Jessy dengan lembut, layaknya ayah pada umumnya yang sangat merindukan anaknya. Amarah Jessy hilang seketika, ia merasakan hangat pelukan dari ayahnya yang sudah lama tidak ia dapatkan. Jessy dan ayahnya melepaskan kerinduan, mereka bercerita tentang kisah kehidupan mereka masing-masing. Ternyata satu bulan sebelum ibu Jessy meninggal, ia juga mengirim surat pada ayahnya bahwa Jessy akan datang padanya dan meminta ayah untuk menjaga Jessy. Jessy memberanikan diri untuk menanyakan alasan mengapa ayahn meninggalkan dirinya dan juga ibu, namun sayang sekali ayah tidak mau mengungkapkan alasan itu karena ayah sudah tidak mau mengingat-ingat masalah yang sudah lama sekali itu. Ayah Jessy bilang kalau ia sangat sedih dan menyesal mengingat masa lalu. Ayah merasa menjadi manusia paling bodoh yang pernah hidup.
******
Jessy melompat dari tempat tidurnya karena mendengar suara tembakan diluar sana. Kemudian ia berlari dan membuka cendela yang susah sekali dibuka. Ia melihat banyak orang sedang latihan menembak disebuah lapangan yang tepat berada di samping kamarnya. Jessy mengenakan jaketnya dan kemudian turun untuk melihat kondisi yang sebenarnya. Ia mencari-cari ayahnya tetapi tidak bisa ia temukan. Dari kejauhan Jessy melihat Chad dan beberapa lelaki yang tampak sedang memapah lelaki lainnya.
“ada apa Chad?”
         “ada yang tertembak Jes, bisakah kamu menolongnya untuk mengobati luka?” terlihat nafas Chad sangat tak beratur.
“baiklah, bagaimana aku bisa mendapatkan kotak obat?”
“tenang saja, ikuti kami” Jessy mengikuti Chad dan teman-temannya, mereka menuju sebuah klinik kecil yang ada diujung gedung.
“tolong obati dia ya Jess, kami mau melanjutkan latihan”
“tunggu Chad, memang tidak ada perawat disini?”
            “perawat kami kebetulan sedang cuti melahirkan, saya harap kamu bisa menghentikan darah dan mengeluarkan peluru dari dalam tubuhnya. Setelah itu kami akan membawanya ke rumah sakit di tengah kota untuk perawatan lebih lanjut”
“baiklah, akan aku coba” Chad dan teman-temannya meninggalkan Jessy berdua dengan si pria yang terkena tembak. Ia meringis kesakitan. Jessy sudah lama tidak melakukan ini, dulu ketika ibunya masih bekerja di rumah sakit ia sering membantu ibunya terlebih ketika asisten ibunya sedang berhalangan hadir. Dan setelah ibunya meninggal ia sama sekali tidak pernah menangani orang dengan luka yang sangat serius seperti sekarang ini. Jessy berusaha mengatur nafasnya, ia takut kalau salah mengobati dan justru membuat lukanya semakin memburuk. Namun ia mencoba untuk yakin bahwa dia bisa, dahulu ia juga pernah menangani orang yang terkena tembak, bedanya dulu ia di bantu oleh ibunya dan sekarang ini ia harus menanganinya sendiri.
“hey, kenapa kamu hanya diam” tanya lelaki itu dengan wajah yang menahan kesakitan
“hmmm…maaf aku sedang mencari perlatan” Jessy mengobrak abrik kotak obat yang ada di sampingnya. Namun ternyata peralatan disini tidak lengkap seperti peralatan yang ada di rumah sakit. Ia ingat apa kata Chad, yang harus dilakukan Jessy saat ini adalah mengeluarkan peluru dari tubuh pria ini dan mencoba menghentikan darahnya, selanjutnya mereka akan membawa lelaki ini ke rumah sakit untuk peraatan lebih lanjut.
“maaf, aku harus membuka bajumu untuk mempermudah pengobatan” kata Jessy sambil melepaskan pakaian pria itu dengan sangat hati-hati. Badan pria itu sangat atletis sekali, untuk pertama kalinya Jessy melihat tubuh atletis seorang pria secara langsung
“hmm…tunggu. Apa kamu yakin bisa mengobatiku?”
“dulu bisa, harusnya sekarang juga bisa” mendengar perkataan Jessy, pria itu langsung membelalakan matanya. Ia kaget dan takut.
“hah? apa kamu mau mencoba membunuhku?” pria itu meronta dan mencoba keluar dari klinik
            “hei.. tunggu. Tenanglah aku bisa mengobatimu” Jessy membantu pria itu untuk duduk kembali ke ranjang
“aku ragu” kata pria itu
“percayalah, aku dulu pernah membantu ibu ku mengurus pasien seperti mu” Jessy berusaha mengalihkan perhatian si pria itu. Jessy mencoba mengeluarkan peluru dengan perlengkapan yang seadanya, ia tahu pria itu sangat kesakitan karena ia tidak di bius terlebih dahulu. Perlahan namun pasti, Jessy berhasil mengeluarkan peluru itu dari dada si pria. Kemudian ia membungkus luka itu agar darahnya tidak mengalir terus-menerus.
“lihat peluru mu sudah keluar” Jessy menunjukkan peluru itu di depan mata si pria
“terimakasih, ternyata kau cukup hebat juga” pria itu tersenyum, manis sekali. Tiba-tiba jantung Jessy berdegup sangat cepat. Ia memalingkan wajahnya, berusaha untuk menutupi perasaannya. Pria itu tetap terduduk lemas di ranjang, ia mencoba mengatur nafasnya karena rasa sakit itu terus menjalari tubuhnya. Jessy membersihkan peralatan yang tadi ia pakai. Jessy melihat pria itu terbaring dan menutup matanya. Mungkin ia ingin istirahat dulu. Jessy meninggalkan pria tampan itu istirahat di dalam klinik. Detak jantung Jessy rasanya ingin meledak setiap kali ia melihat pria itu. Apakah aku jatuh cinta pada pandangan pertama?. Jessy duduk termenung di luar klinik. Chad dan beberapa orang temannya menghampiri Jessy.
“Jessy, bagaimana keadaan Mario?” Jessy Nampak kebingungan, siapa itu Mario?. Kemudian ia baru tersadar siapa yang dimaksud oleh Chad. Jadi pria tampan yang membuat jantungnya melompat sedari dari tadi adalah Mario.
“Jess” Chad melabaikan tangannya tepat di depan mata Jessy yang sedang melamun
“hmm maaf Chad, dia sedang istirahat. Aku sudah berhasil mengeluarkan pelurunya. Tetapi sebaiknya ia harus segera dibawa ke rumah sakit, karena perlatan disini tidak lengakap jadi aku tidak bisa memaksimalkan pengobatannya”
“ya, baiklah. Setelah nanti ia bangun kami akan membawanya ke rumah sakit kota”
Jessy mengagguk dan tersenyum pada Chad serta kedua temannya. Ia lega kalau mereka sangat peduli dengan temannya itu yang bernama Marion.
            “Jess, perkenalkan ini Deep dan Thomas” Chad memperkenalkan kedua temannya itu kepada Jessy. Deep dan Thomas sama-sama memiliki tubuh atletis. Bagaimana tidak, setiap hari mereka melakukan latihan fisik yang sangat keras. Thomas memiliki tubuh yang lebih tinggi dibanding Deep. Namun mereka berdua memiliki wajah yang cukup tampan. Jessy mengulurkan tangganya, menyambut uluran tangan dari Deep dan Thomas.
            “halo, saya Jessy”
            “Jessy adalah anak komandan Jhon yang tinggal di kota seberang” Jelas Chad
            “senang bertemu dengan mu Jessy, semoga kamu betah tinggal disini. Kami sangat senang atas kehadiranmu disini. Sudah lama kami tidak melihat gadis cantik seperti mu” kata Deep yang jelas sedang menggoda Jessy. Jessy hanya tersenyum, sedangkan Chad menepuk pundak Deep sangat keras hingga menimbulkan bunyi. Dan Deep terlihat sangat kesakitan. Tawa Jessy meledak melihat perlakuan Chad pada Deep.
            “jangan sungkan untuk meminta bantuan pada kami” kata Thomas sopan. Mereka berempat larut dalam sebuah obrolan yang sangat mengasyikan, mereka baru saja bertemu dan berkenalan namun rasanya mereka sudah sangat lama sekali saling mengenal. Deep sangatlah humoris dan itu membuat suasana bertambah semakin akrab. Jessy sangat senang bisa mendapatkan teman seperti mereka.
(bersambung)

Senin, 28 Maret 2016

Fan Fiction (Muvon Band)

Mysterious Boy




#True
Sore itu Naya pergi menemai mamanya ke salah satu butik langganan mamanya. Butik langganan mamanya itu ada disalah satu mall terbesar di kotanya. Saat Naya dan mamanya berjalan menuju butik tersebut, Naya melihat Rangga sedang duduk sendiri di dalam café
“mama ke butik duluan aja deh, Naya mau ke café itu sebentar” Naya menunjuk café yang dimaksudnya
“ya udah deh, tapi nanti nyusul ya”
“iya mama” mama berjalan meninggalkan Naya. Naya mulai bergerak mendekat ke arah café tersebut. Ia terus memperhatikan Rangga dari jauh, dari tadi Rangga terus mengecek ponselnya. Sepertinya ia sedang menunggu seseorang. Sekitar 10 menitan Naya memperhatikan Rangga dengan seksama. Tidak berapa lama muncullah seorang gadis cantik berambut pendek dengan poni tengah, gaya rambut seperti Dora. Gadis itu sangat cantik sekali hingga membuat Naya minder. Naya terus bertanya-tanya dalam hati. Siapa gadis itu? Apakah dia pacar Rangga? . Rangga dan gadis itu mulai beranjak keluar dari café, buru-buru Naya pergi mencari tempat untuk sembunyi. Ia sembunyi dibalik penjual ice cream. Naya terus memperhatikan gerak-gerik mereka berdua, Naya terus melangkah tanpa memperhatikan sekelilingnya. Brukkkk…… ia terjatuh, ada sesorang yang entah sengaja atau tidak menabraknya
“aduhh kalau jalan pake….” Lelaki itu tidak meneruskan perkatannya setelah ia mengetahui bahwa yang ia tabrak adalah Naya
“hah…. Ajunnnnn” Naya teriak kesal, gara-gara insiden ini Naya kehilangan Rangga dan gadis itu. Mata Naya terus mencari-cari sekeliling, namun sayangnya ia kehilangan Rangga dan cewkenya (mungkin)
“loe kenapa sih? Dati tadi pelanga-pelongo. Loe kecopetan ya?” Ajun menguncang-guncangkan bahu Naya. Dengan cepat Naya menepis tangan Ajun yang sangat mengganggu pandangannya.
“gagal deh rencana gw dan itu gara-gara loe” Naya melotot dan menuding Ajun. Kemudian ia pergi. Ajun mengikutinya.
“hehh…tunggu-tunggu. Rencana apa sih?”
“gw lagi mata-matain Rangga dan gara-gara loe gw kehilangan dia, puas loe?”
“hahahahaha” Ajun tertawa sangat kencang hingga beberapa orang menoleh pada mereka berdua. Naya langsung membekap mulu Ajun ketika ia menyadari bahwa banyak mata yang melihat mereka berdua.
“loe bisa diem enggak sih, kalau ketawa di control dong. Norak banget sih loe” Naya menjauh dari Ajun
“jadi sekarang loe udah mulai jadi detektif?”
“kenapa? masalah?”
“ya enggak sih”
“barusan gw lihat Rangga jalan sama cewek, tapi gw gak tahu itu pacarnya apa bukan”
“ya jelas pacarnya lah, ngapain ia pergi sama pacar orang lain”
“loe pernah lihat ceweknya Rangga?” tanya Naya menyelidik
“pernah, waktu itu gw sama Rendy gak sengaja ketemu Rangga sama ceweknya di jalan. Mereka lagi boncengan, ceweknya meluk dia gitu. Pokonya mesra banget” Ajun membayangkan kejadian itu
“rambutnya pendek?”
“ya gw gak tau lah, kan dia pake helm”
“iya juga sih ya, cantik gak? sama gw cantikan mana?”
“yaaa…jelasss.. gw gak tau lah” Ajun meringis. Ekspresi Naya berubah, ia memelototi Ajun yang cengengesan sedari tadi
“gimana sih loe, kan loe udah pernah lihat itu cewek. Pastinya bisa bedainlah cantikan yang mana”
“kan gw lihatnya tampak dari samping jadi mukanya gak begitu kelihatan jelas”
“ampun deh jun” Naya menepuk jidatnya dan pergi meninggalkan Ajun. Ngobrol sama Ajun malah membuat Naya semakin pusing, dia sama sekali tidak membuat pencerahan hanya membuat semuanya semakin rumit dan berantakan. Naya menyusul mamanya ke butik langganannya. Ia masih merasa kesal, coba saja kalau tadi Ajun tidak menabraknya ia pasti akan tahu kalau cewek itu benar-benar pacar Rangga atau bukan.
Malam ini  Naya tidak bisa tidur meski ia sudah mencoba memejamkan matanya. Ia masih kepikiran masalah tadi sore. Kalau benar cewek itu pacarnya Rangga, Naya kan harus move on dari si cowok itu. Rangga memang cowok yang misterius, ia tidak bisa ditebak. Sikapnya juga bisa berubah-ubah. Kadang ia menjadi cowok pendiam yang kerjaannya mojokdi perpustakaan kampus, kadang juga ia jadi cowok yang super duper gokil. Malam semakin larut, namun mata Naya masih juga membandel. Ia mencoba mengirim pesan pada Adit
Send to : Adit
Dit, tadi sore gw lihat Rangga sama cewek kayaknya pacarnya deh.
Namun pesan dari Naya tidak juga dibalas oleh Adit. Sepertinya Adit sudah tidur, Naya terus menunggu balasan dari Adit hingga tak terasa ia mulai mengantuk.
Paginya Naya mengecek ponselnya, ada satu pesan  
From : Adit
            Sorry nay, semalem gw udh tidur. Iya mungkin ceweknya. Loe buntutin dia enggak?
Dengan enggan Naya meletakkan kembali ponselnya dan bergegas mandi karena hari ini ia kuliah pagi. Ia merasa kurang fit pagi ini karena ia baru bisa tidur sangat larut sekali. Dengan malas ia berangkat ke kampus. Untungnya jalanan hari ini tidak macet, kalau sampai macet mood Naya bisa benar-benar berantakan. Sesampainya diparkiran kampus ia melihat Adit sudah datang dan duduk di atas montor gedenya. Melihat Naya datang, Adit langsung berdiridan menghampiri Naya yang keluar dari mobilnya.
            “nay, serius loe kemaren ngelihat mereka?” tanya Adit menggebu-gebu
            “iya, sayangnya gw gak bisa buntutin mereka. Gara-gara ada si tukang onar nabrak gw” Naya dan Adit melanjutkan perbincangan sambil berjalan
            “siapa, tukang onar itu gangguin loe. wah…. Kurang ajar banget tuh orang” ketika mereka sedang asyik mengobrol, tiba-tiba mereka dikejutkanoleh Ajun yang mengejutkan mereka dari belakang
            “loe tanya siapa tukang onarnya dit?”
            “iya, gw pingin tahu. Kurang ajar banget dia gangguin temen gw”
            “nih…orangnya” kata Naya sambil memencet hidung Ajun. Ajun mengaduh kesakitan dan susah bernafas. Ia menepis tangan Naya  dari hidungnya
            “hehhh kirain” Adit menghela nafas panjang.
            “kalian lagi ngomongin apa sih?” tanya Ajun penasaran
            “biasa, Mr R” jawab Adit berbisik
            “ohhhh”
            “eh nay, loe lihat muka ceweknya dengan jelas?” tanya Adit kembali pada pembicaraan awal tadi
“iya, gw jelas banget ngelihat mukanya” kata Naya sangat antusias. Adit terlihat sibuk mencari sesuatu di ponselnya. Naya dan Ajun terdiam melihat Adit, mereka menantikan apa yang sedang Adit cari.
“nih, kayak gini bukan?” Adit menyodorkan ponselnya pada Naya
“iyaaa” kata Naya terbelalak melihat foto yang ada di posnel Adit
“coba-coba lihat” Ajun merebut ponsel dari tangan Naya. Ia kebingungan foto siapa ini
“ kan, gw sama Ajun bener. Udah deh loe move on aja. Suka sama cowok orang itu gak baik lho” Adit menepuk pundak Naya dengan halus dan menasihatinya. Naya terlihat sangat shock.
“heh cuy, ini foto siapa?” Ajun masih mengamati foto itu dan ia belum tahu siapa gadis yang ada di ponsel Adit
“itu ceweknya Rangga” bisik Adit pada Ajun. Ajun pun juga terkejut. Ia kemudian  memeluk Naya yang masih terlihat Shock
“puk..puk.. for Naya” Ajun masih memeluk Naya. Naya mencoba melepaskan diri dari pelukan Ajun
“apaan sih loe, ganggu tauu” Naya langsung pergi meninggalkan Ajun dan Adit yang tampak bengong. Ternyata mereka berdua benar, kalau Rangga sudah memiliki pacar. Naya harus mencoba menghapus perasaannya pada Rangga. Adit benar menyukai cowok yang sudah memiliki pacar itu tidak baik. Hari ini kehidupan Naya sangat buram, ia sedih ternyata semua itu benar. Ia bertekad kalau mulai hari ini ia akan belajar melupakan Rangga. Meskipun itu jelas sangat sulit baginya.
(bersambung)

Minggu, 27 Maret 2016

Runaway

            

BAB 2
“senang bisa melihat mu tumbuh menjadi gadis cantik yang mengagumkan” kata bibi Eliz sambil memeluk dan membelai lembut rambut Jessy yang terurai panjang. Pelukan dan belaian lembut bibi Eliz justru membuatnya sedih, biasanya ia dapatkan semua itu dari ibunya.
            “terimakasih karena bibi mau menerimaku” Jessy mencium punggung tangan bibi Eliz seperti yang ia lakukan ketika mencium tangan ibunya.
            “maaf bibi Eliz, maukah anda menceritakan apa hubungan kau dan ibu?” Jessy melepaskan pelukan bibi Eliz dan memandangnya dengan wajah sayu.
            “ibu mu adalah istri adikku, sayangnya adikku bukanlah pria yang baik untuk ibumu” bibi Eliz menjelaskan
            “apa? Jadi ayah ku adalah adik bibi? Jessy sangat terkejut mendengar penjelasan dari bibi Eliz. Selama ini Jessy sangat membenci  ayahnya. Bagaimana tidak, ketika usia 5 tahun ayahnya tiba-tiba pergi begitu saja dan tidak pernah kembali pada Jessy dan ibunya. Padahal ibu Jessy selalu memperlakukan ayahnya sangat baik, meskipun ayahnya sering memarahi ibu namun ibu tidak pernah sekalipun meninggalkan ayah. Sedangkan ayahnya yang mendapat perlakuan baik justru pergi begitu saja dan tidak pernah mengunjungi Jessy dan ibunya. Untung ibu Jessy adalah wanita yang kuat, ia bahkan bekerja banting tulang demi kehidupannya dan Jessy, anak semata wayangnya.
            “bibi tahu sayang, kalau kamu sangat membenci ayahmu. Tapi sejujurnya ayah mu sangat mencintai mu dan juga ibu mu”
            “tapi mengapa ayah meninggalkan kami bibi? Apa salah kami?” tangis Jessy pecah, ia merasakan sakit hati yang dirasakan ibunya. Ia juga sangat kecewa dengan perlakuan ayahnya.
            “bulan lalu, ibumu mengirim surat kepada bibi. Kalau suatu hari nanti kamu akan datang kemari. Dan ibu mu meminta bibi agar kamu dipertemukan dengan ayahmu. Ibumu hanya ingin menunjukkan padamu bahwa ayahmu tidak sejahat seperti yang kamu pikir Jessy. Ia sangat merindukanmu”
            “lalu dimana dia?” Jessy melihat ke sekeliling rumah berharap kalau ayahnya ada disana, ia ingin sekali bertanya alasannya meninggalkan ibu dan dirinya. Namun tampaknya ayah tidak tinggal di rumah bibi Eliz. Bibi Eliz melihat perilaku Jessy yang Nampak sedang mencari-cari sosok ayahnya.
            “ayahmu tidak ada disini Jessy. Ayahmu tinggal di desa seberang” kalimat bibi Eliz membuat Jessy kaku terdiam.
            “sudah malam, kamu istirahatlah. Bibi janji besok akan membawamu kepada ayahmu” Bibi Eliz membantu Jessy membawa barang bawaannya dan mengantar Jessy ke kamar yang telah disediakan oleh bibi Eliz. Malam terasa sangat dingin di pedesaan. Jessy tidak dapat tidur karena berada di lingkungan baru. Ia sudah tidak sabar ingin pergi menemui ayahnya esok hari. Apakah wajah ayahnya masih sama seperti dulu? Apakah ayahnya masih bisa mengenali anaknya yang satu ini?. Jessy berusaha menepis pikiran-pikiran negatif yang ada dikepalanya. Ia berusaha untuk memejamkan matanya di malam yang sangat dingin ini.
*****
Jessy melihat pemandangan dari dalam cendela kamarnya. Indah, sejuk, membuat hati terasa sangat damai, pantas saja penduduk disini sangat betah tinggal di tempat ini. Setiap pagi mereka selalu disambut dengan keadaan alam yang sangat indah ini, sehingga hati dan fikiran mereka menjadi sejuk. Jessy keluar kamar menghampiri bibi Eliz yang sedang sibuk di dapur kecil miliknya. Bibi Eliz tinggal sendiri di rumah ini. Suaminya, paman Sam sudah meninggal 5 tahun yang lalu dan kedua anaknya tinggal di desa seberang.
“selamat pagi bibi” Jessy berjalan menghampiri bibi Eliz. Ikut membantu bibi Eliz memasak. Aroma masakan bibi Eliz sangatlah nikmat, perut Jessy langsung berbunyi keroncongan. Bibi Eliz tersenyum, senang ia memiliki teman dirumah ini. Selama ini bibi Eliz selalu menghabiskan waktu seorang dirinya, anaknya Deep dan Hans membantu ayah Jessy yang tinggal di desa sebelah. Terkadang setiap akhir minggu mereka berkunjung ke rumah bibi Eliz.
“makanlah, pasti kamu sudah sangat lapar kan?” kata bibi Eliz sambil berjalan ke meja makan menghidangkan masakan yang sudah matang.
“iya bibi, ayo makan bersama” Jessy menikmati masakan bibi Eliz, rasanya nikmat sekali.
“besok salah satu anak buah ayahmu akan pergi kemari untuk mengambil beberapa bahan makanan yang sudah dipesan, namanya Chad. Kamu bisa menumpang Chad untuk pergi menemui ayahmu. Bagaimana?”
“anak buah ayah? Memang ayah kerja apa bi?” tanya Jessy penasaran

“besok kamu akan tahu sendiri sayang, sekarang kamu beristirahatlah dulu. Badanmu pasti masih sangat lelah” Jessy mengangguk tanda setuju. Rasa penasaran semakin menyelimuti Jessy, ayah yang selama ini tidak pernah bisa ia temui. Besok setelah sekian lama akhirnya ia bisa bertemu dengan ayahnya yang sudah lama mencampakkannya dan ibunya. Jessy bahkan sudah menyiapkan kata-kata untuk bertanya alasan ayahnya meninggalkan dirinya dan juga ibu begitu saja. Selama satu hari ini Jessy menghabiskan waktu untuk membantu bibi Eliz mengerjakan pekerjaannya, bibi Eliz banyak bercerita tentang kehidupannya yang kini hidup bagai sebatang kara tanpa suami dan anak, bibi Eliz juga menceritakan kehidupan ayah Jessy setelah meninggalkan Jessy dan ibunya. Jessy sangat beruntung memiliki bibi sebaik bibi Eliz, padahal sebelumnya Jessy sempat berfikiran negative tenatng bibi Eliz. Bibi Eliz berulang kali menyatakan perasaannya yang sangat bahagia karena akhirnya ia bisa bertemu dengan keponakannya lagi setelah sekian lama.
(bersambung)

Jumat, 25 Maret 2016

Runaway


BAB 1
2 tahun terakhir ini Jessy hidup sebatang kara, ibunya meninggal karena sakit yang dideritanya yaitu tumor otak. Jessy mencoba untuk bertahan hidup, mencari pekerjaan kesana kemari, di usir dari rumah yang sudah 3 tahun ditempati bersama ibunya karena tidak dapat membayar uang sewa. Sampai akhirnya Jessy menyerah dengan keadaan ini. Ia membuka selembar kertas yang diberikan oleh ibunya sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir.
“Kediaman bibi Eliz. St. Alford 20B, Graivel”
Hanya itu tulisan yang ada di selembar kertas itu. Dengan uang yang seadanya, Jessy memberanikan diri untuk pergi ke alamat yang sudah diberikan oleh ibunya. Jessy sama sekali tidak mengenal siapa itu bibi Eliz, apakah ia saudara ibunya? Atau tempat tinggal sahabat ibunya? Atau justru pemilik panti asuhan yang siap menampung Jessy? Berbagai pertanyaan timbul dibenaknya. Jessy mencoba untuk berfikir positif, siapapun itu bibi Eliz pastilah dia orang yang baik. Mana mungkin ibunya tega menyerahkan anak semata wayangnya ini kepada orang yang jahat. Jessy tahu ini pasti pilihan terbaik yang sudah dipilih ibunya sebelum ia meninggal. Pemandangan yang sangat indah dan mengagumkan selama perjalanan membuat hati Jessy menjadi tenang, sebelumnya ia tidak pernah melihat hamparan padang rumput yang sejuk nan indah, serta hamparan ladang yang dipenuhi dengan orang-orang yang sibuk menggarap lading milik mereka. Jessy baru tersadar bahwa perjalanan ini membawanya ke suatu tempat yang berbeda dari tempat tinggal sebelumnya. Sebuah perkampungan. Itu yang ada dipikiran Jessy. Entahlah perkampungan atau perkotaan yang jelas tempat ini bisa menerima Jessy dengan baik dan dapat merubah sedikit hidupnya. Jessy termenung menatap foto  mendiang ibunya, ia tidak menyangka bahwa selama ini ibunya merahasikan penyakit yang dideritanya dari Jessy. Ibunya adalah seorang dokter disalah satu rumah sakit besar dan ternama di kota, jadi ia pasti sangat memperhatikan kondisi kesehatannya. Namun ternyata itu semua salah, menjadi seorang dokter bukan berarti bisa bebas dari penyakit yang sangat menyakitkan hingga merenggut nyawanya. Tanpa terasa air mata Jessy mengalir di kedua matanya. Jessy merasa sangat tak berguna, ia merasa sangat bodoh karena selama ini tidak mengetahui bahwa ibunya sangat menderita akibat dari penyakit yang diderita. Ia merasa belum bisa menjadi anak yang baik untuk ibunya, padahal selama ini  ibunya sangat sabar dalam mengurus Jessy. Jessy melihat keluar cendela, ia berharap ibunya sudah bahagia ditempat yang baru.
******
Perjalanan yang sangat melelahkan membuat kondisi Jessy sedikit kurang sehat, ia keluar dari kereta yang ditumpanginya dengan lunglai. Tempat yang baru dan orang-orang yang baru. Ia merasa sangat asing berada di kota ini. Ia berjalan dan tampak kebingungan. Perutnya sangat lapar, terakhir ia makan kue yang dibelinya sesaat sebelum kereta berangkat, setelahnya ia hanya menenggak air yang dibawanya.  Jessy berputar putar menjelajahi stasiun itu. kemana aku harus pergi? tanyanya dalam hati. Perasaan takut mulai menguasai tubuhnya, sebelumnya ia belum pernah melakukan perjalanan sendirian. Jika pergi ke tempat yang jauh ia pasti bersama ibunya. Tapi kali ini ia pergi ke temapt baru tanpa siapapun yang menemani, ditambah dengan uang yang hanya tersisa sedikit sekali.
“ada yang bisa saya bantu nona?”seorang lelaki tua menepuk pundak Jessy yang membuatnya sangat kaget dan takut. Seulas senyum yang tercetak jelas diwajah lelaki tua itu membuat  hati Jessy lega. Semoga lelaki itu adalah orang yang baik dan dapat membantu.
“hmm…. Bisakah tuan memberitahu saya kemana saya dapat pergi?” Jessy memberikan secarik kertas yang berisikan alamat kepada lelaki itu dan mencoba bersikap seramah mungkin denga orang baru.
“jelas sekali saya tahu, saya kenal baik dengan nyonya Eliz. Dia adalah orang yang sangat baik, dia sering sekali memborong hasil pertanian saya dengan harga yang pas” penjelasan lelaki tua ini membuat hati Jessy sangat lega.
“bolehkah tuan mengantar saya kealamat itu? Tapi maaf saya tidak punya banyak uang untuk membalas jasa tuan” kata Jessy malu-malu
“tenang saja, tidak usah khawatir. Saya akan mengantarkan nona ke rumah nyonya Eliz. Kebetulan saya juga ingin mampir untuk  mengambil keranjang saya yang masih tertinggal disana. Mari saya antar. Perkenalkan nama saya Demian” kata tuan Demian sambil mengulurkan tangannya pada Jessy
“senang berkenalan dengan anda tuan Demian, saya Jessy” balas Jessy sambil menjabat tangan tuan Demian. Lega, senang, merasa beruntung semua campur aduk di hati Jessy. Ia sangat beruntung bisa bertemu dengan orang baik seperti tuan Demian yang rela mengantarkannya ke rumah bibi Eliz.
“apakah anda keponakan nyonya Eliz?”
“iya, saya keponakan bibi Eliz yang datang dari kota” Jessy berharap ia memang benar-benar keponakan bibi Eliz yang datang dari kota. Tuan Demian rupanya sangat asyik ketika diajak mengobrol, selama perjalanan tuan Demian terus menceritakan hal-hal yang menyenangkan di pedesaan ini. Tempat yang menurutnya paling nyaman dan damai. Semua penduduk disini sangat ramah dan mereka sama sekali tidak pernah bermasalah, jika memang ada masalah pastilah mereka akan menyelesaikannya dengan jalan kekeluargaan. Mendengar cerita dari tuan Demian, Jessy semakin yakin bahwa ia akan betah tinggal ditempat ini  selama-lamanya. Semoga saja.
Kendaraan yang tuan Demian dan Jessy tumpangi berhenti pada sebuah rumah kecil yang terlihat indah dan nyaman. Tuan Demian mengetuk pintu rumah itu, dan beberapa saat kemudian muncullah seorang wanita setengah baya yang masih terlihat cantik dan sangat keibuan.
“permisi nyonya, maaf malam-malam begini saja berkunjung. Saya hanya ingin mampir sebentar dan mengambil keranjang milik saya” sapa  tuan Demian dengan sopan
“dan ini saya juga mengantar keponakan anda” lanjut tuan Demian yang kemudian menyuruh Jessy untuk menampakkan dirinya. Sedari tadi Jessy bersembunyi dibalik pintu, perasaan khawatir mulai menghinggapinya. Ia menunggu respon dari bibi Eliz, apakah ia mengenalinya atau tidak. Wajah bibi Eliz sedikit menerka-nerka siapa gerangan gadis kota yang dibawa tuan Demian yang mengaku sebagai keponakannya ini. Senyum mulai mengembang diwajah bibi Eliz, tanpa berkata apa-apa bibi Eliz langsung memeluk Jessy. Jessy sangat lega. Itu artinya bahwa bibi Eliz mengenalinya, meskipun ia sama sekali tidak tahu siapa itu bibi Eliz. Mendengar namanya saja sama sekali tidak pernah, ia tahu nama bibi Eliz hanya dari surat yang ditulis ibunya.
(bersambung)